Menteri Hukum Indonesia Tunjuk Polisi Kontroversial sebagai Sekretaris Jenderal: Langkah yang Memicu Debat
Jakarta – Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, membuat keputusan yang mengejutkan dengan menunjuk Inspektur Jenderal Polisi Nico Afinta sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum dan HAM pada 24 September 2024. Penunjukan ini menimbulkan gelombang kritik di tengah masyarakat karena latar belakang Afinta yang penuh kontroversi selama bertugas sebagai petinggi kepolisian.
Dalam upacara pelantikan di Jakarta, Supratman menyatakan harapannya agar Afinta mampu menjadi sosok pemimpin yang menginspirasi perubahan dan meningkatkan sinergi antar lembaga pemerintah. Afinta juga menegaskan komitmennya untuk memperbaiki komunikasi di dalam kementerian dan meningkatkan kolaborasi dengan instansi lainnya. Namun, rekam jejaknya selama bertugas di kepolisian mengundang sorotan tajam(
The Star)(
The Star).
Riwayat Kontroversial Afinta
Nico Afinta, yang sebelumnya menjabat sebagai Kapolda Jawa Timur, terlibat dalam beberapa kontroversi besar. Pada tahun 2022, Afinta disebut-sebut dalam penyelidikan terkait skandal pembunuhan ajudan polisi, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, yang melibatkan Ferdy Sambo, seorang jenderal polisi bintang dua. Meskipun Afinta tidak diselidiki secara langsung dan membantah keterlibatannya, kasus ini menciptakan kegelisahan di publik karena banyaknya polisi lain yang terlibat dalam upaya menghalangi penyelidikan tersebut.
Tak lama setelah itu, Afinta kembali menjadi pusat perhatian pada tragedi Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, di mana 135 orang tewas dalam kerusuhan di stadion sepak bola. Penyelidikan kemudian mengungkap bahwa penggunaan gas air mata yang berlebihan oleh pihak kepolisian menjadi salah satu faktor penyebab utama tragedi tersebut. Meskipun tidak dihukum secara langsung, Afinta akhirnya dipindahkan dari jabatannya ke posisi staf ahli(
The Star).
Kritik Terhadap Pengangkatan Polisi Aktif
Keputusan untuk menempatkan polisi aktif seperti Afinta ke posisi strategis di lembaga sipil telah memicu perdebatan luas di Indonesia. Penunjukan ini memang diperbolehkan di bawah Undang-Undang Nomor 20/2023 tentang Aparatur Sipil Negara, namun banyak aktivis menentang praktik tersebut. Mereka berpendapat bahwa hal ini dapat mengaburkan peran kepolisian dalam menjaga ketertiban umum dan menimbulkan kekhawatiran akan adanya potensi konflik kepentingan, terutama menjelang Pemilu 2024(
The Star)(
The Star).
Beberapa pengamat menduga bahwa langkah ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk memperkuat kontrolnya terhadap birokrasi dan pemilu. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa penunjukan polisi dalam jabatan sipil dapat mengganggu sistem penghargaan dalam birokrasi dan menciptakan ketidakstabilan di kalangan pegawai sipil(
The Star).
Reaksi Publik
Berbagai pihak, termasuk aktivis demokrasi dan pengamat politik, telah mengkritik keras keputusan ini. Mereka menilai bahwa penunjukan pejabat yang memiliki latar belakang kontroversial, terutama yang terkait dengan tragedi besar seperti di Kanjuruhan, dapat merusak citra pemerintah dan menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap upaya reformasi hukum.
Di sisi lain, pendukung Afinta berargumen bahwa rekam jejaknya sebagai pimpinan kepolisian di berbagai daerah menunjukkan kemampuan manajerial yang mumpuni, dan mereka percaya bahwa pengalamannya di kepolisian bisa membawa pendekatan baru dalam mengelola Kementerian Hukum dan HAM.
Apa Selanjutnya?
Meskipun langkah ini telah menuai banyak kritik, Supratman tetap optimis bahwa Afinta akan mampu menjalankan tugasnya dengan baik dan membawa perubahan positif di kementerian. Afinta sendiri telah berjanji untuk fokus pada peningkatan komunikasi dan koordinasi antar lembaga, yang diharapkan dapat membantu dalam penegakan hukum yang lebih efektif.
Dengan penunjukan ini, Afinta menjadi bagian dari tren yang berkembang di mana polisi aktif diangkat ke posisi-posisi strategis dalam pemerintahan, sesuatu yang terus diawasi oleh para pengamat politik dan masyarakat(
The Star)(
The Star).