Beberapa orang tua kini mendukung gaya pengasuhan ‘gender kreatif, yakni membiarkan anak-anak memilih identitas gender mereka sendiri di kemudian hari.
Saat Gabriella Martenson bersiap untuk melahirkan anak pertamanya, dia mengambil keputusan tak populer.
Dia tidak akan memberi tahu anaknya jika mereka terlahir sebagai perempuan atau laki-laki, dan akan menghindari mendiskusikan jenis kelamin anaknya dengan orang-orang di luar keluarga dan kelompok pertemanannya.
“Saya ingin mereka menjadi seperti yang mereka inginkan. Saya tidak ingin memutuskan gender untuk mereka,” kata Martenson, yang berusia 30 tahun dan tinggal di kota kelahirannya, Stockholm, ketika dia memiliki anak pertamanya.
“Saya juga tidak ingin memutuskan apa yang harus mereka lakukan di masa depan, atau dengan siapa mereka memutuskan untuk jatuh cinta atau tinggal bersama.”
Mahasiswa Unhas dirisak karena mengaku non-biner, ‘para pendidik seharusnya perbarui ilmu tentang gender’
Singapura bakal cabut larangan homoseksual, tapi akan tetap tolak pernikahan sesama jenis
Podcast Deddy Corbuzier: Aktivis LGBTQ sayangkan permintaan maaf dan penghapusan konten Ragil-Fred Seolah sentimen dan diskriminasi itu dibenarkan
Saat masih kecil, Martenson dibesarkan dalam norma-norma stereotip gender, seperti diberi barang-barang berwarna merah muda dan gaun untuk dipakai.
Namun, di akhir masa remajanya, dia mengatakan telah “menemukan feminisme dan mulai mempertanyakan norma-norma gender”.
Jadi, ketika dia menjadi seorang ibu, dia memilih untuk membelikan anaknya sendiri berbagai macam pakaian dan hadiah, mulai dari kereta hingga boneka, membiarkan mereka bebas memilih, terserah apa yang ingin mereka pakai pada hari tertentu.
Dia berharap gaya pengasuhannya akan membantu anaknya merasa lebih nyaman menjajal berbagai hobi dan studi, alih-alih mendorong mereka ke kegiatan yang lebih stereotip untuk gender tertentu.
Dia juga percaya membesarkan anak tanpa menentukan jenis kelaminnya akan membuat segalanya lebih mudah jika mereka akhirnya mengidentifikasi diri sebagai gender yang berbeda dari gender kelahiran mereka.
Ini juga akan membantu mereka lebih mudah menerima orang lain yangtidak menganut gender biner atau norma sosial lainnya.
“Saya membiarkan mereka menjadi apa saja dan mengajari mereka untuk tidak berpikiran sempit,” katanya.
Martenson, yang sejak itu menerapkan pendekatan itu kepada dua anaknya yang lain, adalah bagian dari sedikit orang tua baik dari pasangan orang tua yang straight maupun queer yang telah memilih pengasuhan netral gender dalam beberapa tahun terakhir, kata para ahli. Meski sedikit, mereka mengatakan jumlahnya terus bertambah.
Tidak jelas berapa persisnya keluarga yang telah mengadopsi strategi ini, karena hanya ada sedikit penelitian akademis atau publik tentang tren mikro ini.
Namun, penulis yang kerap membahas pengasuhan anak, psikoterapis, dan guru prasekolah secara anekdot mengatakan bahwa mereka telah memperhatikan praktik ini terus meningkat dalam satu dekade terakhir, terutama di Eropa utara dan AS.
Meski sudah ada lebih banyak orang tua memilih pendekatan tersebut ini adalah pilihan yang tidak konvensional, dan bukan tanpa penolakan, bahkan kontroversi.
Namun, orang tua yang menentang praktik membesarkan anak yang sudah kadung mengakar, memiliki motivasi khusus dan pendekatan praktis.
Memahami motivasi ini mungkin dapat memberi pengertian tentang cara-cara berbeda di masa depan untuk membesarkan anak.