Salah satu tantangan kesehatan Indonesia adalah stunting, yaitu anak yang tumbuhnya tidak normal karena kekurangan asupan energi protein dan infeksi berulang pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Dampaknya pertumbuhan fisik, kecerdasan, dan produktivitas masa depan terganggu. Jika hal ini dibiarkan, maka Indonesia dapat ketinggalan dalam berbagai bidang perkembangan dari negara-negara di dunia.
Di lingkungan negara Asia Tenggara prevalensi stunting adalah Myanmar 35%, Vietnam 23%, Malaysia 17%, Thailand 16%, Singapura 4% dan Indonesia 24% (Desember, 2021). Dari sini Indonesia perlu kerja keras mencapai target prevalensi pada 2024 sebesar 14% yang tinggal dua tahun. Tantangan berat karena kita baru mencapai tren penurunan prevalensi hanya sebesar 1,6% per tahun.
Dari hasil survei status gizi Indonesia 2021 sebaran stunting ditemukan di seluruh 34 provinsi. Terendah di Bali 10,9%, DKI 16,5%, Yogyakarta 17,3%, Kepulauan Riau 17,6%, dan Lampung 18,5%. Sedang tertinggi di NTT 37,8%, Sulawesi Barat 33,8%, Aceh 33,2%, NTB 31,4%, dan Sulawesi Tenggara 30,2%. WHO sendiri menetapkan batas normal stunting atau prevalensi rendah yaitu di bawah 20%.
Upaya percepatan pencegahan stunting dilakukan dengan menyasar penyebab langsung dan penyebab tidak langsung melalui pendekatan menyeluruh melalui intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Intervensi sensitif berarti intervensi di luar sektor kesehatan dengan keterlibatan lintas sektor, masyarakat, dan potensi swasta. Hal ini menyentuh penyebab tidak langsung namun menjadi akar masalah mendasar stunting di Indonesia.
Skenario
Dalam mencapai target prevalensi stunting 14% pada 2024, Indonesia harus dapat menurunkan 2,7% tiap tahun. Sekarang kita baru mencapai penurunan 1,6% tiap tahun dengan kondisi penurunan tidak stabil. Luasnya permasalahan objektif yang terjadi kerap dituding sebagai penyebab tidak maksimalnya percepatan pencegahan stunting dalam dua tahun terakhir.
Sebagai kebutuhan esensial, persoalan gizi bayi dan balita di Indonesia terus menjadi permasalahan. Beban ganda terjadi yaitu kelebihan gizi (obesitas) dan kekurangan gizi (stunting, wasting). Profil perbaikan gizi sasaran stunting belum banyak berubah. Sasaran di sini yaitu ibu hamil, ibu menyusui, dan anak balita yang sulit mendapat akses pelayanan, utilitas, dan lingkungan yang menjamin tumbuh kembang.
Maka tidak heran jika akses terhadap layanan dasar di Tanah Air sangat rendah. Terdapat 8 indikator dapat dilihat yaitu imunisasi dasar, asi eksklusif, keragaman makanan, air minum, sanitasi, pendidikan anak usia dini, kerawanan pangan, dan akta kelahiran. Semua merupakan layanan dasar bagi ibu hamil, ibu menyusui, dan anak balita yang perlu diwujudkan dalam mencegah stunting dan masalah gizi.
Akses terhadap layanan dasar tersebut bagi ibu hamil dan anak balita belum memadai. Hanya 28,7% dari balita yang memiliki akses layanan dasar secara simultan. Bahkan yang mendapatkan delapan layanan dasar tak lebih dari 1% balita. Kiranya demikian pula yang terjadi pada ibu hamil dan ibu menyusui. Rendahnya akses layanan dasar yang dibutuhkan dalam rangka mencegah stunting dan melahirkan generasi unggul terus terjadi.
Sedikit gambaran dimaksud yang membuat kita pesimis dapat mencapai target pada 2024 yaitu prevalensi stunting 14%. Implementasi intervensi yang dirancang tidak mudah karena fakta layanan menyangkut faktor mendasar kehidupan. Yaitu faktor pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya yang semua butuh jalan panjang mengelolanya. Di sinilah kita berbesar hati mengenal tiga skenario keberhasilan pencegahan stunting.
Skenario pencegahan stunting yang pertama yaitu stunting balita turun 1 – 1,5% per tahun (pesimis). Skenario kedua (moderat) dengan peningkatan upaya prevalensi stunting akan turun 1,5 – 2% per tahun. Dan, skenario ketiga (optimis) dengan peningkatan upaya yang lebih optimis prevalensi akan turun sekitar 2-2,5% per tahun.
Jalan Panjang
Upaya percepatan pencegahan stunting menjadi tidak mudah berhadapan dengan kondisi objektif masyarakat. Tentu kita tetap memilih skenario yang positif yaitu segala upaya dengan penurunan 2 – 2,5 % per tahun. Setidaknya skenario moderat masih memadai sehingga dalam jangka panjang dapat dirasakan manfaatnya.
Banyak pihak menyatakan aksi konvergensi dalam jangka panjang diyakini efektif mencegah stunting balita. Hal ini merupakan instrument dalam bentuk kegiatan untuk meningkatkan integrasi intervensi gizi dalam pencegahan dan penurunan stunting. Tujuannya menyelaraskan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan pengendalian kegiatan antarsektor, pemerintah, masyarakat, dan swasta.
Selama ini diketahui bahwa upaya percepatan pencegahan stunting menyasar penyebab langsung (kesehatan) dan penyebab tidak langsung (di luar kesehatan). Kedua intervensi mesti implementasi dan mendapat dukungan semua pihak. Mulai pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/ kota, hingga pemerintahan desa, dan non pemerintah (pemberdayaan masyarakat, swasta).
Di sinilah kita melihat intervensi sensitif menjadi tidak mudah dalam ranah konvergensi. Program/kegiatan belum terintegrasi, terkoordinasi, dan terkomunikasikan sesuai rencana. Dengan sasaran keluarga dan masyarakat luas, intervensi sensitif membutuhkan sumber daya yang besar. Intervensi disini mencakup ketahanan pangan, akses pangan bergizi, pengasuhan gizi ibu dan anak, dan peningkatan penyediaan air bersih. Tidak mudah, butuh waktu dan kerja keras agar dalam jangka panjang membuahkan hasil.
Jika intervensi spesifik dapat dicapai dalam jangka pendek dengan sasaran prioritas (ibu hamil, ibu menyusui, bayi 0 – 23 bulan, remaja putri, pasangan usia subur), maka intervensi sensitif butuh jalan yang panjang dengan sasaran keluarga dan masyarakat luas. Negara-negara Amerika Latin membutuhkan 8 hingga 30 tahun dalam menurunkan stunting. Maka intervensi dalam pencegahan stunting baru akan terlihat 20 tahun mendatang sehingga penanganan hari ini menjadi modal ke depan yang sangat berharga.