Kericuhan buruh terjadi di Bangladesh pada Kamis (9/11/2023), dengan polisi menggunakan peluru karet dan gas air mata untuk meredam demonstrasi. Para pekerja garmen menolak tawaran kenaikan gaji pemerintah sebesar 56,25%, sementara mereka menuntut kenaikan tiga kali lipat dari jumlah tersebut.
Wakil Kepala Polisi Gazipur, Ashok Kumar, menjelaskan bahwa para pekerja mencoba memblokir jalan, dan polisi terpaksa menggunakan peluru karet dan gas air mata untuk membubarkan mereka. Sekitar 1.000 buruh berkumpul di kota industri Gazipur, di luar Dhaka, menciptakan situasi panas dengan melemparkan batu ke arah petugas dan menyalakan api di jalan.
Buruh menuntut kenaikan gaji menjadi 23.000 taka (sekitar Rp 4,3 juta), sementara saat ini buruh perempuan di Bangladesh hanya menerima sekitar 8.300 taka (sekitar Rp 1,5 juta). Mereka berargumen bahwa kenaikan gaji yang ditawarkan pemerintah tidak mencukupi untuk menutupi biaya hidup, termasuk biaya sewa rumah, pendidikan, dan kesehatan.
Protes telah berlangsung sejak pekan lalu, dan setidaknya tiga pekerja tewas sementara lima petugas polisi terluka. Serikat pekerja melaporkan adanya ancaman dan penangkapan terhadap mereka tanpa adanya tanggapan langsung dari pihak kepolisian.
Bangladesh memiliki sekitar 3.500 pabrik garmen, yang menyumbang sekitar 85% dari ekspor tahunan senilai US$55 miliar. Pabrik-pabrik ini memasok produk untuk merek terkemuka dunia seperti Levi’s, Zara, dan H&M.
Clean Clothes Campaign, kelompok hak-hak pekerja tekstil berbasis di Belanda, menolak tingkat gaji baru yang ditawarkan pemerintah Bangladesh dan menyebutnya sebagai “upah miskin”. Departemen Luar Negeri Amerika Serikat telah meminta peninjauan kembali terhadap situasi ini.
Kondisi ini menyoroti ketidakpuasan buruh terhadap upah yang tidak dapat mengimbangi kenaikan harga makanan. Ketegangan semakin meningkat, dengan korban jiwa dan luka-luka, sementara pemerintah dan serikat pekerja terlibat dalam perdebatan tentang kesejahteraan buruh dalam industri garmen Bangladesh.