
New York (ANTARA) – Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, menyampaikan kekhawatirannya terkait tanda-tanda kegagalan multilateralisme di panggung global. Peringatan ini diutarakan pada pertemuan Menteri Luar Negeri G20 di sela-sela Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-79 di New York, pada 25 September 2024. Menurut Retno, multilateralisme sedang menghadapi tantangan besar di tengah fragmentasi pemerintahan global, menurunnya kepercayaan antarnegara, serta ketidakmampuan sistem internasional untuk merespons tantangan baru.
Retno menyoroti krisis kemanusiaan di Palestina sebagai bukti nyata rapuhnya multilateralisme saat ini. Eskalasi konflik di Timur Tengah, khususnya genosida di Gaza, disebutnya sebagai cerminan dari kegagalan komunitas internasional dalam menegakkan hukum dan hak asasi manusia secara konsisten. Dalam konteks ini, Retno mendesak agar tidak ada standar ganda dalam penegakan hukum internasional dan hak asasi manusia.
Dalam pidatonya, Retno menyampaikan tiga poin utama yang perlu dilakukan untuk membenahi sistem multilateralisme yang tengah terpuruk:
- Perwakilan yang lebih inklusif di dalam tata kelola global. Retno menekankan pentingnya reformasi sistem agar lebih inklusif, representatif, dan efisien. Dia mengingatkan bahwa negara-negara Global South, yang mencakup 85 persen populasi dunia, memiliki kontribusi ekonomi yang semakin besar dan harus lebih diperhitungkan dalam pengambilan keputusan global.
- Membangun kepercayaan strategis dan keadilan. Menurut Retno, kepercayaan internasional hanya bisa pulih jika negara-negara maju memenuhi komitmen mereka, terutama terkait dengan pendanaan iklim dan pembangunan berkelanjutan. Dia juga menekankan perlunya upaya nyata untuk mengatasi kesenjangan antara komitmen global dan aksi nyata di lapangan.
- Adaptasi terhadap tantangan baru. Di era digital, tata kelola yang terkait dengan regulasi siber dan kecerdasan buatan (AI) menjadi sangat penting untuk memastikan kemajuan teknologi dapat dinikmati oleh semua pihak, bukan hanya segelintir negara atau kelompok. Dalam konteks ini, Retno juga menyoroti pentingnya tindakan nyata dalam menghadapi perubahan iklim.
Retno menegaskan bahwa peran G20 sangat strategis dalam mengembalikan kepercayaan terhadap sistem multilateralisme dan memperkuat tata kelola global yang inklusif dan adil. Indonesia, menurut Retno, mendukung inisiatif “G20 Call to Action on Global Governance Reform,” yang berfokus pada modernisasi sistem tata kelola global agar lebih siap menghadapi tantangan abad ke-21 dan memastikan sistem yang lebih adil bagi semua negara.
Tanda-tanda Kegagalan Multilateralisme
Multilateralisme, yang selama ini menjadi andalan dalam memfasilitasi kerja sama internasional, semakin terlihat rapuh dalam menghadapi berbagai krisis global. Retno menyoroti beberapa krisis utama yang menunjukkan tanda-tanda kegagalan multilateralisme, termasuk krisis kemanusiaan di Palestina, konflik di Ukraina, serta meningkatnya ketegangan di Timur Tengah. Semua ini, menurutnya, mencerminkan ketidakmampuan sistem internasional untuk merespons tantangan yang semakin kompleks.
Lebih lanjut, dia menekankan bahwa multilateralisme yang gagal hanya akan mengarah pada situasi di mana kekuatan mendominasi keadilan. Dia menegaskan bahwa kita tidak boleh membiarkan krisis di Gaza, Ukraina, dan Lebanon menjadi norma baru di panggung internasional.
Optimisme dan Harapan untuk Multilateralisme
Meski demikian, Retno masih optimistis bahwa multilateralisme dapat diperbaiki. Dia menegaskan perlunya tindakan kolektif yang segera diambil oleh negara-negara anggota G20 untuk memastikan multilateralisme yang lebih inklusif dan efektif. Dengan memperbaiki sistem tata kelola global, multilateralisme masih memiliki potensi untuk menjadi alat utama dalam menyelesaikan tantangan global yang semakin kompleks.
Kesimpulannya, peringatan Retno Marsudi tentang kegagalan multilateralisme memberikan gambaran yang jelas tentang tantangan yang dihadapi komunitas internasional saat ini. Meski multilateralisme tengah menghadapi ujian berat, ada harapan bahwa dengan reformasi dan tindakan kolektif yang tepat, multilateralisme dapat kembali menjadi instrumen utama dalam menjaga perdamaian dan stabilitas global.