Yerusalem, 7 Oktober 2024 — Ketegangan di wilayah Timur Tengah kembali memuncak seiring dengan peringatan satu tahun perang di Gaza. Israel menuduh kelompok militan Hizbullah di Lebanon telah meluncurkan 135 roket ke wilayah utara Israel pada hari Minggu (6/10). Serangan ini terjadi tepat pada momen peringatan dimulainya konflik antara Israel dan kelompok Hamas di Jalur Gaza setahun yang lalu.
Dalam pernyataannya, militer Israel (IDF) menyebut bahwa serangan roket tersebut menargetkan beberapa wilayah permukiman di utara Israel, termasuk kota Metula dan Kiryat Shmona. Meskipun tidak ada korban jiwa yang dilaporkan, beberapa bangunan rusak, dan sejumlah warga sipil mengalami luka ringan akibat pecahan peluru.
“Kami akan menanggapi setiap serangan terhadap kedaulatan kami dengan tegas,” ujar juru bicara militer Israel, Letnan Kolonel Jonathan Conricus, dalam sebuah konferensi pers. Ia menambahkan bahwa serangan balasan terhadap posisi Hizbullah di Lebanon sudah dilancarkan beberapa jam setelah roket pertama diluncurkan.
Latar Belakang Serangan
Hizbullah, kelompok militan Syiah yang berbasis di Lebanon, selama bertahun-tahun telah menjadi musuh utama Israel di kawasan. Meskipun mereka lebih dikenal karena keterlibatan mereka dalam perang saudara di Suriah, kelompok ini juga memiliki sejarah konflik panjang dengan Israel, terutama sejak perang 34 hari antara Israel dan Hizbullah pada tahun 2006.
Peringatan satu tahun perang Gaza dianggap sebagai waktu yang sensitif, di mana berbagai pihak di kawasan, termasuk Hizbullah, diperkirakan akan memanfaatkan momentum ini untuk menunjukkan kekuatan mereka dan mengirimkan pesan politik. Selama perang Gaza tahun lalu, sekitar 2.000 warga Palestina dan 12 warga Israel tewas dalam serangkaian serangan udara dan darat antara militer Israel dan Hamas.
Tanggapan dari Lebanon
Di pihak Lebanon, Hizbullah belum secara resmi mengklaim tanggung jawab atas serangan roket tersebut. Namun, beberapa analis politik di Lebanon memperkirakan bahwa serangan ini merupakan bagian dari upaya kelompok tersebut untuk menunjukkan solidaritas terhadap perjuangan rakyat Palestina, terutama dalam konteks peringatan perang Gaza.
Pemerintah Lebanon sendiri berada dalam posisi sulit. Di satu sisi, Hizbullah memiliki pengaruh politik yang kuat di negara tersebut. Di sisi lain, pemerintah Lebanon menghadapi tekanan internasional untuk menjaga stabilitas di perbatasan mereka dengan Israel.
Perdana Menteri Lebanon, Najib Mikati, dalam pernyataannya pada hari Senin (7/10) menyatakan bahwa Lebanon “tidak ingin terlibat dalam konflik yang lebih luas” dan menyerukan agar semua pihak menahan diri untuk mencegah eskalasi lebih lanjut. Ia juga meminta PBB untuk turun tangan guna mencegah ketegangan berlanjut di sepanjang perbatasan Lebanon-Israel.
Eskalasi di Gaza
Sementara itu, di Jalur Gaza, situasi juga tetap tegang. Peringatan satu tahun perang antara Israel dan Hamas di Gaza memperburuk suasana. Pada hari yang sama dengan serangan roket dari Hizbullah, militer Israel juga melaporkan adanya serangan roket dari Gaza yang menargetkan wilayah selatan Israel. Sejumlah roket berhasil dicegat oleh sistem pertahanan rudal Iron Dome, tetapi beberapa dilaporkan jatuh di area terbuka tanpa menyebabkan kerusakan besar.
Kelompok Hamas, yang memerintah Gaza, belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait serangan roket dari wilayahnya. Namun, dalam beberapa hari terakhir, para pemimpin Hamas telah menggelar serangkaian pertemuan dengan sejumlah pejabat asing, termasuk delegasi dari Mesir, untuk membahas upaya mencegah eskalasi lebih lanjut di Gaza.
Reaksi Internasional
PBB dan sejumlah negara Barat telah menyerukan deeskalasi. Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, menyatakan kekhawatirannya atas meningkatnya ketegangan di kawasan. Dalam pernyataannya, Guterres mendesak kedua belah pihak untuk menghentikan aksi kekerasan dan kembali ke meja perundingan.
“PBB sangat prihatin atas perkembangan ini. Kami mendesak semua pihak untuk menahan diri dan menghindari tindakan yang dapat menyebabkan lebih banyak kekerasan dan penderitaan bagi warga sipil,” ujar Guterres.
Amerika Serikat, yang merupakan sekutu dekat Israel, juga mengutuk serangan roket yang diluncurkan ke wilayah Israel. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS menyatakan dukungan penuh terhadap “hak Israel untuk membela diri,” seraya meminta agar Hizbullah menghentikan semua bentuk agresi terhadap Israel.
Sementara itu, beberapa negara Arab, seperti Mesir dan Yordania, yang memiliki perjanjian damai dengan Israel, juga menyerukan agar kedua belah pihak menahan diri. Mereka khawatir bahwa ketegangan di Gaza dan Lebanon dapat meluas menjadi konflik regional yang lebih besar, yang akan berdampak pada stabilitas seluruh kawasan.
Potensi Eskalasi Lebih Lanjut
Para analis memperkirakan bahwa situasi di perbatasan Israel-Lebanon dan di Jalur Gaza masih rentan terhadap eskalasi lebih lanjut. Hizbullah dan Hamas memiliki sejarah panjang konflik dengan Israel, dan ketegangan yang sedang berlangsung ini bisa menjadi pemicu konflik yang lebih besar jika tidak segera diredakan.
Israel sendiri telah meningkatkan kehadiran militernya di sepanjang perbatasan dengan Lebanon dan Gaza, sambil terus memantau perkembangan situasi. Beberapa sumber di militer Israel juga menyebut bahwa serangan balasan terhadap Hizbullah akan terus dilakukan jika serangan roket berlanjut.
Bagi masyarakat internasional, momen peringatan satu tahun perang Gaza ini menjadi pengingat akan kompleksitas konflik di Timur Tengah, yang melibatkan banyak aktor dengan kepentingan berbeda. Upaya untuk mencapai perdamaian di kawasan ini masih terhalang oleh dinamika politik yang rumit dan ketegangan militer yang berkelanjutan.
Dengan meningkatnya serangan roket dan ketegangan di sepanjang perbatasan Israel, Gaza, dan Lebanon, situasi di kawasan Timur Tengah terus menjadi sorotan. Pihak internasional diharapkan dapat memainkan peran yang lebih aktif dalam mencegah eskalasi lebih lanjut, sementara Israel dan kelompok-kelompok militan di kawasan harus mencari jalan keluar diplomatik untuk mencegah korban jiwa lebih banyak di masa depan.